Kambing
Kelapangan dada menerima apa yang sudah menjadi kepastian di hidup kita, bagi saya — mungkin juga nyaris bagi kita semua — kerap kali menjadi sesesuatu yang begitu berat dan susah untuk dilakukan. Terlebih, jika kepastian itu, jauh dari yang kita angan-angankan.
Seseorang yang dulu adalah teman sejawat saya di sebuah lembaga pendidikan, yang sudah saya anggap laiknya guru spiritual saya sendiri pernah menyampaikan hal serupa sewaktu saya bertandang ke kediamannya; sebuah rumah kecil tetapi penuh dengan kehangatan, di sebuah kampung dengan jalanan yang sempit dan macat, di daerah Sumbersari, Kota Malang. Inti dari pesan tersebut, sebetulnya sederhana dan dapat diringkas ke dalam satu kata: ikhlas. Satu kata dua silabel, yang, tentu begitu lancar bila dilisankan, tetapi alangkah susah untuk diejawantahkan dalam tindakan. Bandingkan dengan ‘tendang’ atau ‘pukul’, misalnya.
Ketika terkenang pesan tersebut lalu menuliskannya dalam paragraf di atas, saya lantas teringat, seseorang pernah berkata bahwa ikhlas itu butuh sebuah latihan. Latihan? Baiklah. Barangkali begitu. Namun, alih-alih berterima di kepala saya, kata ‘latihan’ justru melahirkan pemahaman yang lain. Ikhlas, seakan-akan semacam keterampilan khusus seperti menulis, berenang, atau bermain musik yang dapat dikuasai dengan cara berlatih secara tekun. Jika memang begitu, wah, agaknya saya perlu segera mengangkat bendera putih, lalu melambaikan tangan, menyerah. Bagaimana tidak? Barusan, saya bahkan menulis di status WhastApp, bahwa menulis cerita pendek adalah keterampilan yang betapapun saya sudah berlatih untuk menguasainya, rasa-rasanya, tidak akan mungkin saya kuasai, persis seperti kemampuan berenang dan memetik dawai gitar. Sampai detik kalimat ini ditulis, saya masih mengimani bahwa tidak peduli bagaimanapun seseorang tugur berusaha untuk mengusai sesuatu, akan selalu ada setidaknya satu hal yang tidak akan ia kuasai. Jika seseorang itu adalah saya, barangkali ‘ikhlas’ adalah kemampuan yang akan saya taruh di daftar paling atas kemampuan, yang, tidak peduli seberapa saya serius berlatih menguasainya, saya tidak akan pernah mampu menguasainya.
Kadang-kadang, saya suka berandai-andai. Andai kata ‘ikhlas’ adalah sifat yang dapat diturunkan melalui sanad biologis, mungkin pernyataan-pernyataan di atas tidak akan saya torehkan. Sebab bapak saya, saya rasa, adalah tipe manusia yang begitu ikhlas menerima kepastian-kepastian yang ditetapkan untuknya, bahkan bila pun kepastian itu amat tidak menyenangkan baginya, saya pikir. Bukankah seharusnya, sifat itu menurun kepada saya? Kenapa sifat itu tidak menurun kepada saya, sementara cambang, bentuk rahang dan hidung, serta caranya berbicara, kata orang, amat-sangat mirip dengan saya. Sayang sekali, meski ikhlas adalah sebuah ajaran agama, dan agama, seperti watak, yang dapat diturunkan secara biologis (ingat, kita beragama secara keturunan), cara seseorang dalam menjalankan ajaran-ajarannya toh tak ubahnya nasib, persis seperti yang digambarkan oleh Chairil: adalah kesunyian masing-masing. Ikhlas, saya rasa juga begitu.
Karena sebelumnya, saya menyebut bapak, saya jadi teringat sebuah peristiwa tak menyenangkan yang pernah menimpa keluarga kami, dab bagaimana cara bapak dalam menyikapinya, membuat saya tersentak. Bahkan, ketika peristiwa itu saya kenang ulang di dalam tulisan ini, rasa tersentak itu masih saya rasakan.
Saat itu, saya masih duduk di bangku kuliah S1. Waktu itu, saya kebetulan sedang pulang kampung. Momen pulang kampung, bagi saya, adalah momen untuk melepas penat dari hiruk-pikuk tugas perkuliahan yang, aduh, betapa ingin selalu saya kutuki. Namun, kata seorang dosen suatu kali, kalau tidak diberi tugas, mahasiswa bebal seperti saya pasti tidak akan belajar. Baiklah, saya tak mau menggunjingkan kata-kata itu.
Di teras rumah, waktu itu, saya sedang sibuk bersitatap dengan layar monitor laptop saya, ditemani setumpuk buku, secangkir kopi, dan sebungkus rokok. Siang sedang bengis-bengisnya. Matahari di Ponorogo, sepertinya berjumlah 10 butir. Bagi tubuh saya yang kadung dimanjakan oleh iklim sejuk Malang, kota kelahiran saya itu seakan-akan sedang kebocoran priuk neraka. Saya tak begitu ingat, apa yang sedang sibuk saya kerjakan di siang yang jahanam itu. Yang jelas, jika sedang membuka laptop, kemungkinan besar, saya sedang menulis. Saya tak terlalu gemar dan tak kuat maraton anime atau film. Selain itu, laptop saya pun tak memadai jika harus diinstal gim. Jadi, anggaplah saat itu saya memang sedang menulis.
Di siang yang gerah itu, di rumah, hanya ada saya dan ibu. Bapak kebetulan sedang tidak di rumah karena mendatangi undangan pernikahan tetangga kampung. Sementara saya sedang sibuk dengan urusan saya di teras rumah, ibu tampaknya sedang sibuk dengan aktivitasnya di pekarangan, di kandang ternak, yang, baru saja kedatangan anggota baru: seekor kambing kendit jantan berukuran sedang, yang baru saja kemarin sore dibeli bapak dengan harga lumayan dari seorang blantik langganannya. Ada sebuah harapan baik yang melingkar di punggung kambing baru yang baru saja kami beli, persis seperti motif bulunya. Rencananya, kambing itu akan dirumat untuk kemudian dijual lagi di hari raya kurban, beberapa bulan yang akan datang. Hasil penjualan kambing itu, kata ibu, diniatkan untuk menambah pundi-pundi tabungan haji.
Belum genap satu jam saya tenguk-tenguk di teras rumah, menikmati buku yang sengaja saya bawa dari Malang sebagai pelipur kesuntukan saya di rumah, ibu tiba-tiba mendatangi saya dengan tergopoh.
“Wedhuse! Wedhuse, Le! (Kambingnya! Kambingnya, Nak!)” kata ibu, panik. Air mukanya penuh dengan kecemasan.
“Ana apa, Buk? (Ada apa, Bu?)” kataku, tak kalah paniknya.
Belum sempat menjawab pertanyaan saya, ibu sudah gegas berjalan balik ke arah pekarangan. Saya buru-buru menyusulnya, penasaran, apa kiranya yang menimpa penghuni baru losmen murah itu. Berbagai spekulasi terlintas di pikiran saya. Jangan-jangan, kambing baru kami terlibat cekcok dengan kambing jantan peranakan etawa — si penguasa wilayah — karena mengendus-endus dubur satu-satunya kambing betina yang tinggal di sana, kemudian ia sekarat karena dihantam dengan serudukan maut oleh si kambing jantan peranakan etawa itu? Jika benar, si kendhit sepertinya memang perlu untuk dikuliahi tentang etika.
Betapa saya kecewa ketika sampai di kandang, yang saya saksikan rupanya bukanlah dua kambing jantan yang sedang berseteru selagi si betina pujaan menangis sesenggukan di sudut pekarangan. Tidak ada cinta segitiga di antara mereka, dan saya patut merasa lega. Namun, saya menyaksikan pemandangan yang menyedihkan. Kambing baru kami, terkulai lemas di kandang dengan mulut mengeluarkan lendir bening. Ia tampak begitu tak berdaya, sampai-sampai, ketika saya dan ibu berusaha mengeluarkannya dari kandang melalui pintu sempit berengsel potongan karet ban bekas, kami harus bersusah-payah membantunya berdiri. Di momen heroik itu, saya membayangkan diri saya pasukan pemadam kebaran yang berhasil mengevakuasi seorang korban yang terjebak di antara reruntuhan gedung yang terbakar.
“Celukna Kang Marni! (Panggilkan Kang Marni!)” perintah ibu kepada saya, ketika saya bahkan belum sempat menghembuskan napas lega setelah berhasil menjalankan misi mulia: membantu kambing baru kami yang sekarat itu keluar dari kandangnya. Khayalan saya sontak runtuh, tetapi saya tak mungkin menunda perintah ibu. Kecemasan seorang ibu adalah teror paling maut bagi hati anak yang tahu diri. Saya pun bergegas menuju ke rumah tetangga saya, Kang Marni.
Ketika merawikan ulang cerita ini, saya baru sadar, di keluarga kami, Kang Marni sudah seperti sosok multitalenta, selalu bisa diandalkan. Dia juga semacam juru selamat ketika misalnya, ibu tidak berani memasang regulator di liang tabung LPG, sementara saya, anak laki-lakinya yang gagah ini, ternyata tidak begitu dapat diandalkan sebab sekadar menyalakan kompor gas saja, saya menutup telinga dan menjaga jarak aman barang beberapa senti dari mulut kompor. Kang Marni jugalah yang biasa dipanggil ibu untuk menyembelih ayam ketika di rumah akan mengadakan selamatan. Jangan tanya nyali saya dalam dunia perjagalan binatang. Pengalaman pertama dan terakhir saya menyembelih ayam saat praktik ubudiyah di pesantren, berakhir sebagai malapraktik. Ayam itu mati dengan leher benar-benar terputus. Saya selalu mendoakan arwah ayam itu mendapat tempat yang terbaik di sisi-Nya. Namun, sejak saat itu, saya bersumpah tidak akan menjadi penyembelih lagi, untuk selama-lamanya, baik untuk ayam maupun binatang yang lain.
Singkat cerita, Kang Marni pun datang ke kandang kami untuk menilik kondisi kambing kami yang malang.
“Bar mendhem apa iki, Yu? (Habus keracunan apa ini, Yu?)” tanya Kang Marni sembari mengamati mulut si kambing yang tak henti-hentinya meneteskan lendir dan liur. Lagaknya seperti seorang mantri hewan betulan. Sementara itu, kondisi kambing kami tampak semakin kritis.
“Ora weruh, Kang. Wong isuk mau tak combor katul campur karak karo uyah ya sueneng, diombe nganti entek (Tidak tahu, Kang. Orang tadi pagi, saya kasih minum bekatul dicampur nasi aking dan garam suka sekali, bahkan diminum sampai habis),” jawab ibu, memberi penjelasan.
Mendengar penjelasan ibu, Kang Marni mencoba mengamati kondisi kambing kami lebih saksama. Ditepuk-tepuknya perut kambing kami yang menggembung. Tak berapa lama berselang, Kang Marni memberi arahan agar meminumi kambing kami dengan susu dan sprite. Saya tidak tahu alasannya secara medis. Namun, ketika sapi Eyang Kakung dulu lemas dan perutnya menggembung, saya ingat, sapi itu secara ajaib memang sembuh setelah diminumi 5 botol sprite dicampur susu.
Sebetulnya, saya ingin mengusulkan untuk membacakan kambing kami surat Yasin. Guru mengaji saya pernah bilang, jika seseorang sedang berada dalam kondisi sakit yang menunjukkan tanda-tanda kematian, sebaiknya ia dibacakan surat Yasin. Alasannya, kata Guru saya, agar jika ada kemungkinan sembuh, Tuhan yang Maha Menyembuhkan akan segera mengentaskan penyakitnya. Sebaliknya, jika memang ditakdirkan menemui ajal, agar segera diperlekas dan dipermudah menuju ke alam baka. Namun, niat itu saya urungkan. Kambing baru kami mengandung sebuah harapan mulia dari ibu. Dan ibu, tentu tidak akan rela jika kambing yang baru dibeli kemarin sore itu tewas selekas itu.
Untuk musibah yang menimpa ternak kami kali ini, ikhtiar yang disarankan oleh Kang Marni dipastikan tidak bakal bekerja. Sebab, ketika saya datang membawa dua botol sprite dan semangkuk susu putih, kambing kami telah tewas. Benar-benar tewas. Secara khusnul khatimah. Ibu terduduk lemas, memandangi kambing kami dengan raut penuh kehilangan. Seakan-akan, binatang itu sudah seperti buah hatinya sendiri. Hati ibu, pasti compang-camping melihat nasib si kambing.
Sementara itu, karena langit sudah menunjukkan hari semakin sore, saya segera mengambil cangkul dan menggali liang lahat untuk menguburkan jasad kambing kami yang telah kaku. Ketika liang lahat sudah siap, saya segera memasukkan jenasah kambing kami, menimbunnya serapat mungkin agar tak menimbulkan bau busuk. Selanjutnya, saya mengirim kabar duka ini kepada bapak melalui pesan WhatsApp.
“Kambing yang baru dibeli kemarin sore, mati, Pak,” tulisku di papan ketik, lengkap dengan emot sedih. Tiga biji emot sedih.
Tak berselang lama selepas saya mengirim pesan itu, saya mendengar bunyi kelakson mobil dari arah halaman rumah. Pasti itu bapak, pikir saya. Maka saya pun segera menghampiri bapak untuk memberitahu beliau bahwa kambing yang baru saja dibeli kemarin sore itu, sudah mati, sudah dikebumikan dengan prosesi yang layak — meski saya tidak menutup proses penguburan dengan berdoa. Anehnya, bapak tidak tampak kaget mendapati berita duka itu. Belum sempat menaruh peci dan melepas jas safarinya, bapak langsung menuju ke pekarangan. Ibu tidak berkata apa-apa, sedangkan Kang Marni hanya bergeming. Mau tak mau, saya akhirnya bercerita panjang lebar menjelaskan kronologi bagaimana akhirnya kambing kendhit itu menemui ajalnya. Alih-alih menampilkan rona sedih, bapak justru memberikan tanggapan, yang, sial, membuat saya bingung bukan main.
“Yawis ora papa,” katanya. “Sing paring rejeki gawe tuku wedhus Pengeran, saiki wedhuse dijaluk maneh karo Pengeran (Yasudah tidak mengapa. Yang memberi rejeki untuk membeli kambing ini adalah Allah, sekarang, diambil lagi oleh Allah),” jawab bapak, tegas dan menohok, sambil mengulas sesimpul senyum, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Ia kemudian berlalu pergi, masuk ke rumah, meninggalkan kami bertiga dalam perasaan masing-masing.
Cerita tentang kambing kami yang mati dan keikhlasan bapak dalam menghadapinya, belakangan, sedikit-banyak memberikan saya cara pandang yang baru dalam memahami ‘ikhlas’. Akhirnya, saya memandang bahwa ikhlas tidak membutuhkan latihan. Yang dibutuhkan seseorang untuk ‘ikhlas’ adalah barangkali adalah kesadaran. Kalau pun ikhlas memang membutuhkan latihan, kita tidak dapat menyamakannya dengan latihan-latihan seperti pada keterampilan yang melibatkan aspek psikomotorik. Ia cenderung kepada perpaduan antara kognitif dan afektif, kawin silang antara pengetahuan dan sikap. Melatih keikhlasan, rasa nerima, artinya, melatih kesadaran kita, yang dalam prosesnya akan melibatkan pengetahuan dan cara kita dalam berpikir dan bersikap. Bahwa makhluk selalu bersifat fana, bahwa kehidupan senantiasa beriringan dengan kematian, sebagaimana kepemilikan, senantiasa berdampingan dengan kehilangan. Kesadaran, bahwa tidak ada yang sepenuhnya mutlak kita miliki. Dari debu kembali kepada debu, kata Alkitab. Sesungguhnya kami milik Tuhan, dan kepada-Nyalah kami kan kembali, terang Al-Qur’an dalam salah satu surahnya []